Oleh : Adelia Rahima

Perempuan itu bernama Siti Walidah, kita sering menyebutnya Ny. Ahmad Dahlan. Beliau dilahirkan pada 3 januari 1872 M di Kauman Yogyakarta. Beliau merupakan putri dari Kiai Muhammad Fadhil, seorang penghulu keraton Yogyakarta yang kemudian diberhentikan karena sebab tertentu. Lalu, Ayah Siti Walidah menekuni profesi sebagai saudagar batik. Ayah Walidah termasuk saudagar batik yang kaya di Kauman, sehingga kehidupan ekonominya terbilang mapan.

Sejak kecil Siti Walidah sudah mengenal dan belajar ilmu agama, namun tidak dengan ilmu pengetahuan umum karena pada waktu itu berkembang pemikiran bahwa sekolah formal hanyalah  untuk laki-laki, bukan untuk perempuan. Sedih sekali bukan…? Meskipun demikian, semangat belajarnya tidak pernah padam, beliau belajar menulis latin bersama peserta pengajian perempuan seusianya. Siti Walidah memang terbilang paling menonjol dibanding dengan teman-temannya. Tidak heran, kemampuan berdakwah sudah diasahnya sejak seringkali dipercaya oleh ayahnya untuk mengajar di langgarnya.

Tepat pada tahun 1903 M, Siti Walidah dinikahkan dengan KH. Ahmad Dahlan yang melainkan adalah saudara sepupunya sendiri. KH Ahmad Dahlan bersama Siti Walidah mendirikan sebuah persyarikatan yang bernama Muhammadiyah, organisasi pembaharuan Islam pertama di Yogyakarta. Tidak cukup sampai disini, Siti Walidah juga ingin mengantarkan kaum perempuan supaya memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan formal dan menjalankan peran kemasyarakatan, berdakwah secara aktif di ruang publik, seperti di pengajian atau organisasi. Keadaan wanita Indonesia saat itu sangat memprihatinkan. Paham budaya yang turun menurun menempatkan wanita sebagai “Konco wingking”(Teman untuk urusan rumah tangga saja). Posisi itu menjadi sumber kebodohan dan ketertinggalan kaum perempuan. Lalu, Apa yang dilakukan Walidah?

Siti Walidah merintis dengan mengumpulkan kaum perempuan baik tua maupun muda untuk belajar membaca Al-Quran. Pengajian tersebut dikenal dengan nama “Sapa Tresna”. Konon, Surat pertama yang diajarkan adalah Al-Maun, yang berisi tentang kepekaan sosial sekaligus mengingatkan kita pada fenomena kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Seiring berjalannya perjuangan Siti Walidah, pada tahun 1917 M pengajian tersebut resmi berubah menjadi sebuah organisasi perempuan dengan nama “ ‘Aisyiyah ”. Siti Walidah menjadi ketua ‘Aisyiyah dari tahun 1921-1926 M dan kembali memimpin pada tahun 1930 M selama satu tahun.

Siti Walidah adalah perempuan yang memiliki pergaulan luas. Bagaimana tidak? Beliau pernah diundang dalam sidang ulama solo yang bertempat di serambi Masjid Besar Keraton Surakarta yang notabene pesertanya adalah laki-laki. Beliau juga pernah berpidato di hadapan kongres pada kongres ‘Aisyiyah ke-15 di Surabaya tahun 1926 M. Tidak hanya itu, Ny. Ahmad Dahlan juga beberapa kali menghadiri dan memimpin jalannya kongres ‘Aisyiyah. Masih banyak lagi jasa-jasanya, seperti membangun Mushalla dan sekolah ‘Aisyiyah.

Siti Walidah merupakan sosok pemimpin yang selalu mengusahakan untuk hadir di setiap kongres, tetapi sejak tahun 1940 M beliau jatuh sakit sehingga tidak lagi dapat menghadiri kongres. Semasa Ny.Dahlan sakit,konsul-konsul Muhammadiyah menjenguknya. ”Aku titipkan ‘Aisyiyah sebagaimana Alm. KH. Ahmad Dahlan menitipkan Muhammadiyah kepada kalian (generasi penerus Muhammadiyah)” itulah pesan wasiat Ny. Ahmad Dahlan. Tidak sampai berselang satu tahun setelah menyampaikan wasiat, Ny. Dahlan wafat pada 31 mei 1946 M pada usia 74 tahun. Pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Siti Walidah atas jasanya yang begitu besar bagi kaum perempuan dalam mendidik dan membina perempuan-perempuan muda calon pemimpin-pemimpin Islam. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.042/TK/Tahun 1971 telah menetapkan Siti Walidah sebagai Pahlawan Nasional.

Begitu besar jasa Ny. Ahmad Dahlan bagi kaum perempuan,khususnya perempuan muslim Indonesia. Ketangguhan, keberanian, dan kemandirian sosok Siti Walidah, sudah seharusnya menjadi contoh bagi kita kaum perempuan, untuk tetap percaya diri dalam menghadapi situasi apapun. Kemandirian, keberanian, serta pengambilan sikap perempuan itu jauh lebih penting dibandingkan kecantikan yang terlihat dari fisik semata. Dari keteladanan Siti Walidah, dapat kita teladani bahwa kecantikan yang sesungguhnya adalah ketika perempuan percaya diri, mandiri, dan independen. Kemudian dapat bermanfaat dalam kehidupan. Semoga, kita sebagai kaum perempuan bisa mengurangi rasa insecure kita yang belakangan marak karena wajah glowing, paras putih tanpa jerawat dan segala bentuk perawakan secara fisik. Menilik bagaimana perjuangan sosok Ny. Ahmad Dahlan kita bisa memulai untuk meneladani sosok Ny. Ahmad Dahlan yang percaya diri tanpa membandingkan kemampuan diri dengan oranglain. Aamiin… Untuk Kawan-Kawan yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai perjuangan Ny.Ahmad Dahlan, bisa membaca buku yang berjudul “Srikandi-Srikandi ‘Aisyiyah” yang ditulis oleh Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati dan diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah 2014.

Refrensi :

Setyowati,Hajar Nur dan Mu’arif.2011.Srikandi-Srikandi ‘Aisyiyah.Yogyakarta:Suara Muhammadiyah.