Oleh: Rahmatia Azhari

Anggota Bidang Hikmah IMM FIKES UNISA

Pendahuluan

Kilas balik mengenai salah satu peristiwa pada masa orde baru, yang dikenal sebagai peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa yang telah kita ketahui bersama bahwa peristiwa ini berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Ada banyak factor yang menjadi latar belakang terjadinya peristiwa ini. Baik dari segi politik maupun ekonomi.

Kepemimpinan Soeharto pada masa Orde baru berusaha menciptakan stabilitas politik dengan cara menggabungkan partai-partai politik berdasarkan golongannya yang terdiri dari golongan nasionalis dan golongan islamis. Namun, upayanya dalam meredam kegiatan politik Islam justru membawa pengaruh buruk pada pemerintah. Pada tahun 1983, untuk menaklukkan partai-partai politik Islam, Soeharto menekankan untuk setiap partai agar menjadikan Pancasila sebagai ideologinya. Penerapan konsep Asas Tunggal Pancasila inilah, yang nantinya mendapat banyak penolakan dari banyak golongan, terutama kelompok-kelompok Islam.

Selain dari masalah penerapan asas tunggal Pancasila, pada tahun 1980-an, Indonesia mengalami krisis ekonomi akibat turunnya harga minyak dunia. Tingkat inflasi yang mengalami peningkatan, pada tahun 1983 naik hingga 13,52% dan pada tahun 1984 menjadi 15,35%. Hal ini menjadikan beban biaya hidup semakin berat. (KOMPASPEDIA, 2021)

Hal ini menyebabkan banyaknya masyarakat yang mulai mengkritik pemerintah masa Orde Baru. Banyak Masjid yang melakukan ceramah yang mengkritik pemerintah pada masa Orde Baru. Khususnya Musholah As-Sa’adah yang mengkritik terkait penerapan asas tunggal Pancasila. Penekanan-penekanan yang dilakukan terhadap umat Islam, seperti tidak diperbolehkannya ceramah tanpa izin, larangan memakai kerudung untuk anak SMA, hingga penekanan-penekanan terhadap partai-partai politik Islam.

Pada tanggal 8 September 1984, kedatangan Sersan Hermanu yang merupakan oknum Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) untuk mengambil pamphlet berbau syara’ justru menimbulkan suatu masalah. Tindakannya yang dianggap kurang sopan saat memasuki mushola, membuat perasaan umat Islam tersinggung. Warga yang marah akan perilaku Hermanu, akhirnya membakar motor milik Hermanu.

Klimaks dari masalah ini adalah saat Syarifudin Sambe dan Sofyan Suleman serta dua orang lainnya ditangkap oleh apparat keamanan. Tidak hanya itu, Ahmad Sahi yang merupakan pimpinan Mushola As-Sa’adah dan satu orang lainnya yang berada di tempat kejadian juga ikut ditangkap. Muhammad Nur, salah seorang yang membakar motor turut ditangkap juga. Penangkapan inilah yang kemudian menimbulkan tuntutan agar mereka dibebaskan.

Amir Biki, salah satu tokoh di daerah tersebut berusaha menghubungi pihak-pihak berwajib untuk membebaskan keempat ulama yang ditahan karena menurutnya tak bersalah. Namun usahanya ternyata sia-sia. Hal ini yang kemudian menyebabkan terjadinya sebuah peristiwa pada tanggal 12 September. Peristiwa yang memakan banyak korban, yang hingga kini peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa Tanjung Priok.

Pembahasan

Beberapa Hari Setelah Tragedi

Tragedi Tanjung Priok, merupakan salah satu tragedi yang menggemparkan Indonesia pada tahun 1984. Tragedi yang telah memakan banyak korban ini memiliki proses panjang dalam upaya penyelesaiannya.

Sebagai salah satu peristiwa bersejarah pada awal pemerintahan masa Orde Baru, peristiwa ini tentu menjadi pusat perhatian dan pandangan pers. Pada tanggal 14 September 1984, pada surat kabar Merdeka dan Kompas menurunkan berita utama terkait peristiwa Tanjung Priok. Surat kabar Merdeka menurunkan berita utama dengan judul “Situasi Tanjung Priok Berhasil Dikendalikan: Masyarakat Diminta Tenang”. Berita utama yang disampaikan juga hamper sama dengan yang diberitakan Kompas. (INSAN CITA, 2017)

Beberapa saat setelah peristiwa, para tokoh yang sebelumnya ditahan mulai diadili oleh aparat keamanan. Ahmad Sahi, dituduh memberikan pernyataan palsu terkait Sersan Hermanu yang memasuki Mushola tanpa melepas sepatu. Syarifudin Sambe dan Sofyan Suleman dituduh melakukan penyerangan terhadap aparat keamanan. Dan Muhammad Nur dituduh membakar motor petugas. (KOMPASPEDIA, 2021)

Keempat orang ini kemudian dijatuhi hukuman penjara berdasarkan pasal-pasal KUHP. Ahmad Sahi dijatuhi hukuman 22 bulan penjara, Syarifudin Sambe dan Sofyan Suleman masing-masing dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara, serta Muhammad Nur dijatuhi hukuman 18 bulan penjara.

Selain keempat tokoh ini, ada banyak pula aktivis lain yang ditahan setelah malam kericuhan sebanyak 28 orang. Masing-masing dari mereka kemudian dijatuhi hukuman 1-3 tahun kurungan penjara. Tak hanya itu, para penceramah yang hadir pada malam tabligh akbar di Tanjung Priok pada malam sebelum kerusuhan juga diapnggil untuk melakukan persidangan.

Pengadilan HAM Ad Hoc

Setelah masa kepemimpinan Soeharto berakhir, perubahan rezim yang terjadi membuat beberapa kasus terkait pelanggaran HAM pada masa Soeharto menjabat mulai dibuka Kembali. Hal ini membuat para keluarga korban pada peristiwa Tanjung Priok mulai mendatangi Komnas HAM agar kasus Tanjung Priok Kembali dibuka.

Tak hanya Komnas HAM, mereka juga mendatangi kantor Departemen Pertahanan dan Keamanan untuk menuntuk agar kasus Tanjung Priok kembali dibuka. Langkah ini mendapatkan dukungan dari banyaknya kalangan masyarakat dan para tokoh politik. Komnas HAM kemudian mulai melakukan penyelidikan kembali terkait kasus tersebut. Beberapa saksi dan korban juga mendatangi kantor Komnas HAM untuk melakukan pemeriksaan.

Pada proses pemeriksaannya, Komnas HAM menemukan adanya kejanggalan dengan kasus ini. Mulai dari ditemukannya kuburan massal korban aksi Tanjung Priok, yang berasal dari dua saksi penggali kubur yang mendatangi kantor Komnas HAM (KOMPASPEDIA, 2021).

Pada akhirnya, diadakan pengadilan HAM ad hoc yang diupayakan mampu menjadi alternative penyelesaian untuk kasus Tanjung Priok. Pada September 2003 – Agustus 2004, sidang di adakan dengan agende pemeriksaan terhadap tersangka serta kesaksian dari para korban.

Setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang, aparat militer yang terbukti bersalah dituntut kurungan penjara selama 5 hingga 10 tahun. Majelis hakim juga memutuskan untuk memberikan kompensasi sebesar 1,15 milyar yang harus dibayar oleh negara kepada keluarga korban.

Namun, pada Agustus 2004 mantan Kepala Polisi Militer Jaya Meyjen (Purn) Pranowo dan mantan Kepala Seksi Operasi Komando Distrik Militer 0502 Jakarta Utara Meyjen Sriyanto divonis bebas setelah dinyatakan tidak terbukti bersalah. Beberapa anggota prajurit hanya divonis 2-3 tahun, hanya Meyjen Rudolf Butar Butar yang divonis 10 tahun penjara.

Keputusan hakim atas bebasnya aparat keamanan ini sangat disayangkan oleh para keluarga korban. Mereka menganggap para aparat tersebut juga seharusnya ikut bertanggung jawab atas peristiwa Tanjung Priok.

Resistensi Para Penguasa Militer

Adanya pengadilam HAM ad oc bisa menjadi bukti betapa tumpulnya hukum di Indonesia. Bebasnya beberapa oknum yang bertanggung jawab atas peristiwa Tanjung Priok menyisakan tanda tanya pagi para keluarga korban. Mengapa bisa mereka dibebaskan? Salah satu penyebabnya yakni resistensi para penguasa militer.

Resistensi politik bukan hanya aktiftas  yang dilakukan secara terbuka saja, melainkan bisa dalam bentuk memengaruhi para saksi dan korban untuk memberikan kesaksian yang salah saat pengadilan.

Ada beberapa saksi yang mengaku bahwa para pelaku pelanggar HAM melakukan klaim kesepakatan untuk melakukan perdamaian yang disebut islah. Istilah islah yang pada dasarnya hanya menjadi sebuah alasan agar bisa terbebas dari tanggung jawab. Para korban yang memutuskan untuk melakukan islah akan diberikan sejumah uang, sedangkan para saksi dan korban yang kukuh terhadap pendiriannya akan mendapat ancaman dan terror.

Betapa menyedihkannya system di Indonesia, dimana para penguasa dapat dengan mudahnya meninggalkan tanggung jawab atas sebuah kesalahan dengan menggunakan kekuasaan yang ia miliki. Pengadilan HAM ad hoc dari kasus Tanjung Priok biasa disebut sebagai sebuah kegagalan bagi peemrintah dalam menegakkan keadilan.

Beberapa faktor lain dari gagalnya persidangan ini bukan hanya semata-mata karena resistensi politik yang dilakukan oleh para pelaku pelanggar HAM, melainkan juga karena lemahnya kemauan politik pemerintah, serta lemahnya perlindungan terhadap para saksi dan korban.

Mirisnya, hingga sekarang masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang penanganannya seakan tidak dilakukan dengan serius oleh pemerintah. Seakan tak melirik dari kasus-kasus sebelumnya, yang membuat masyarakat tak henti-hentinya melakukan kritik terhadap kinerja pemerintah.

Penutup

Belajar dari peristiwa Tanjung Priok, pemerintah sebagai pelaku pelaksana politik harusnya bisa lebih membuka mata terhadap berbagai kasus-kasus pelanggaran HAM. Pemerintah seharusnya bisa lebih tegas dalam menyikapi berbagai kasus guna menciptakan kepercayaan yang tinggi oleh masyarakat.

Masyrakat, merupakan aspek penting bagi pemerintah untuk bisa menjadikan suatu negara yang lebih baik. Lantas, jika masyarakatnya sudah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, bagaimana cara pemerintah untuk menciptakan negara yang baik? Membuka pandangan terhadap kasus-kasus seperti ini sangat menjadi kunci utama bagi pemerintah. Penanganan kasus yang sesuai, akan membuat  masyarakat puas sehingga kedepannya peristiwa seperti ini bisa lebih diminimalisir.

Program perlindungan terhadap saksi dan korban juga diharapkan bisa lebih maksimal, agar para pelaku tindak kejahatan tidak akan bisa lari dari tanggung jawabnya hanya karena kesaksian para saksi yang berubah.

Referensi

REPRODUKSI KETIDAKADILAN MASA LALU : Catatan Perjalanan Membongkar Kejahatan HAM Tanjung Priok. (2008). Menteng – Jakarta Pusat

Danang, Martinus. (2021). Peristiwa Tanjung Priok 1984: Latar Belakang, Tragedi Kerusuhan, dan Penyelesaian Pelanggaran HAM. Diakses 27 September 2022. https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/peristiwa-tanjung-priok-1984-latar-belakang-masalah-tragedi-kerusuhan-dan-penyelesaian-pelanggaran-ham

Suwirta, Andi. (2017). Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: Kasus Peristiwa Tanjung Priok Tahun 1984 dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka dan Kompas di Jakarta. Diakses 27 September 2022. https://www.journals.mindamas.com/index.php/insancita/article/view/937/847

Peristiwa Tanjung Priok. (2022). Diakses pada 27 September 2022. https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Tanjung_Priok#CITEREFThe_New_York_Times_1984,_Around_the_World;