Oleh: Ana Alifiani

“Jadi orang harus bermanfaat untuk masyarakat, jangan sampai hanya jadi benalu.” Ibu mengusap kepalaku yang dibalut jilbab biru tua sambil memandang lekat mataku. Ah, sudah berapa kali beliau mengatakan hal sepert ini. Seperti tidak ada nasehat lain saja, pikirku.

Jika biasanya beliau akan kembali melanjutkan aktivitasnya setelah memberiku nasehat, kali ini berbeda. Beliau menarik lembut tangan kananku, mengajakku duduk di amben yang berada di beranda rumah kayu kami. Beliau duduk bersimpuh, layaknya perempuan jaman 60-an pada umumnya, sedangkan aku duduk bersila, seperti kebiasaan perempuan pada jamanku, yang sering kulihat.

Beliau diam, membiarkan suara angin yang saling bertiupan memenuhi pendengaranku. Beliau diam bukan malah membuatku tenang, sebab biasanya beliau lebih banyak berbicara, menceritakan apa-apa yang sudah seharusnya menjadi makanan untuk otakku yang beliau bangun agar terus berkembang. Aku mulai gelisah, menatapnya ragu, lalu memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.

“Kenapa Ibu selalu menasehati Puan untuk bermanfaat bagi masyarakat, agar memikirkan keadaan masyarakat, semua tentang masyarakat. Jarang sekali Ibu membahas tentang pendidikanku, jarang sekali Ibu menanyakan bagaimana perkembanganku di sekolah, padahal umurku baru lima belas tahun. Umur dimana pada umumnya masih senang bermain, Bu.”

“Sudah sejak 103 tahun yang lalu, ketika Muhammadiyah merayakan isra’ mi’raj untuk pertama kali, tepatnya pada 27 Rajab 1335 H yang bertepatan dengan tanggal 19 Mei 1917 M, sebuah organisasi perempuan yang dididik oleh KH. Ahmad Dahlan bernama ‘Aisyiyah diresmikan.”

Aku diam, menyimak dengan saksama, seolah diajak untuk pergi ke masa lalu, dimana sejarah itu terjadi.

“Pada awalnya, KH. A Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan membimbing perempuan yang senang berkumpul, baik anak-anak maupun yang sudah berumur puluhan untuk mendapatkan ilmu keagamaan. Mengingat peranan perempuan yang sudah seharusnya mendapatkan tempat yang layak baginya, KH A Dahlah akhirnya membuat sebuah pengajian yang isinya perempuan dengan nama Sapa Tresna. Pengajian itu belum menjadi sebuah perkumpulan resmi, oleh karena itu ada salah satu tokoh bernama KH Mokhtar mengadakan pertemuan dengan KH A Dahlan yang juga dihadiri oleh H. Fakhrudin dan pengurus Muhammadiyah lainnya.”

Aku mengangguk-angguk, menatap air muka ibuku yang begitu bersemangat menceritakan hal tersebut.

“Pada awalnya disusulkan nama Fatimah sebagai ganti nama Sapa Tresna itu, akan tetapi nama itu tidak disetujui. Akhirnya H Fakhrudin mengusulkan nama Aisyiyah, karena difikir itu lebih selaras dengan harapan dapat mengikuti sifat Aisyiyah sebagai istri Nabi Muhammad yang selalu membantu beliau dalam berdakwah dan nama itu akhirnya disetujui, tepat pada hari dimana tadi ibu ceritakan di awal tentang Aisyiyah diresmikan.”

“Hm… jadi, itu juga pertama kalinya Muhammadiyah merasyakan Isra’ Miraj ya, Bu? Karena bertepatan dengan lahirnya Aisyiyah?” tanyaku sambil menopangkan dagu dengan tangan kiriku, membayangkan keadaan jaman dahulu, dimana wanita seumuranku sudah diarahkan untuk memikirkan kemasyarakatan. Ah, mungkin ini alasan kenapa ibuku selalu saja memberiku nasehat agar menjadi perempuan yang bermanfaat bagi masyarakat.

“Dan kamu tahu, Puan?” tanya beliau ancang-ancang melanjutkan ceritanya.

Aku menggeleng.

“Ada sebuah pesan dari KH A Dahlan yang ibu pikir itu sudah menjadi bekal untuk bertahan hidup dengan terus bermanfaat bagi masyarakat, ‘Beramal itu harus berilmu’.” Aku terdiam, mulutku sedikit terbuka, begitupun pikiranku yang mulai mengerti, “salah satu pilar perjuangan Aisyiyah itu sendiri adalah, ‘pemberantasan kebodohan’. Jadi, Ibu pikir, kamu mengerti dengan apa yang harus kamu lakukan setelah ibu ceritakan seluk-beluk perjuangan dan etimologi Aisyiyah. Jika kamu masih bingung, berfikirlah, agar kamu berbeda dengan hewan, karena disitulah perbedaannya.” Beliau mengakhiri cerita, pelan-pelan beliau beranjak dari tempat bersimpuhnya, ijin pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Sedangkan aku terdiam.

“Ibu. Sungguh, ibu membuat aku berfikir,” gumamku pelan sambil tersenyum.