Oleh : Salma Firdausya
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana [At-Taubah:71].
Berbicara soal segala sesuatu yang ada di muka bumi ini tak ada habisnya. Tak lebih lagi jika kita bahas soal mahluk yang ada didalamnya. Terlebih lagi berbicara soal feminisme. Sebuah bahan pembicaraan yang semakin lama pembahasannya semakin tak ada titik terangnya. Feminisme yang memiliki artian dari femina tersebut, memiliki arti sifat keperempuan, sehingga feminisme diawali oleh presepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibanding laki-laki di masyarakat. Akibat presepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia (human being). Dilansir dalam sebuah jurnal, Menurut Kamla Bashin dan Nighat Said Khan dalam sebuah bukunya yang berjudul “Some Question of Feminism and its Relevance in South Asia” Pada tahun 1986 mendefinisikan sebuah feminisme sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan di masyarakat, tempat kerja, dan keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan dan laki-laki untuk mengubah kesadaran tersebut. Maka hakikat dari feminisme masa kini adalah perjuangan untuk mencapai kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Pemikiran tersebut yang berkorelasi dengan realitas yang terjadi pada perempuan saat ini. Dimana masih adanya penindasan baik secara langsung maupun tidak langsung itu sendiri. Bisa kita lihat diberbagai fenomena yang terjadi saat ini ialah masih maraknya labelling ‘penomor duaan’ bagi perempuan diberbagai tempat, entah dalam hal pekerjaan, pendidikan, kesempatan dan lain-lain. Bahkan perempuan kerap kali mengalami hal-hal yang diluar dugaan seperti pelecehan seksual (sexual harrassment) hingga kekerasan seksual ( sexual assault ) oleh pihak-pihak tertentu. Hal tersebut yang membuat perempuan dirasa kurang aman di berbagai tempat dimana ia berpijak.
Feminisme juga mengingatkan kita pada berbagai tradisi sosio-kultural yang kerap melekat di masyarakat hingga saat ini. Bahkan menurut sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Universitas Padjajaran, melansir ConventionWatch, 2007 bahwa Sejak masa lampau, budaya masyarakat di dunia telah menempatkan laki-laki pada hierarki teratas, sedangkan perempuan menjadi kelas nomor dua. Ini terlihat pada praktek masyarakat Hindu misalnya, pada zaman Vedic 1500 SM, perempuan tidak mendapat harta warisan dari suami atau keluarga yang meninggal. Dalam tradisi masyarakat Buddha pada tahun 1500 SM, perempuan dinikahkan sebelum mencapai usia puberitas. Mereka tidak memperoleh pendidikan, sehingga sebagian besar menjadi buta huruf. Dalam hukum agama Yahudi, wanita dianggap inferior, najis, dan sumber polusi. Dengan alasan tersebut, perempuan dilarang menghadiri upacara keagamaan, dan hanya diperbolehkan berada di rumah peribadatan. Begitu pula di Indonesia, pada era penjajahan Belanda maupun Jepang, perempuan dijadikan sebagai budak seks bagi tentara-tentara asing yang sedang bertugas di Indonesia. Serta terdapat peraturan yang melarang perempuan mengenyam pendidikan, kecuali mereka berasal dari kalangan priyayi atau bangsawan. Bisa kita lihat bahwa tradisi inferioritas atau penomor duaan memang kerap kali terjadi turun-temurun dari zaman dahulu hingga saat ini. Kilas balik, terlebih lagi kita jumpai banyaknya tradisi yang justru tanpa kita sadari menjadikan perempuan sulit untuk mendapatkan kesetaraan itu sendiri. Seperti halnya budaya pingit yang ada pada tradisi jawa kuno atau bahkan budaya tangkap lari yang ada pada tradisi adat NTT yang lagi-lagi mampu melanggengkan sebuah budaya patriarki. Dimana peranan seorang perempuan saat itu selayaknya hanyalah dalam hal pekerjaan domestik saja. Perempuan yang sebaiknya hanya mengurus kebutuhan keluarga seperti mengurus anak, dapur, dan semacamnya. Dari hal tersebutlah yang kerap kali dirasakan perempuan di zaman dahulu merasa tertindas.
Berawal dari situ hingga pada akhirnya munculah gebrakan-gebrakan untuk menghilangkan budaya superioritas-inferioritas yang diangkat oleh berbagai pahlawan emansipasi wanita seperti Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah) yang mendirikan ‘aisyiyah saat itu, lalu RA Kartini, dan masih banyak lagi yang menjadikan wanita hingga sampai saat ini mampu menempati wadah yang saat itu sulit untuk ditempati. Terlepas dari segala hal yang ada dalam lingkup sosio-kultural yang berdampak pada ketimpangan gender yang terjadi, perlunya analisis kritis terkait terhadap akar permasalahan atau grassroot dari penyebab penindasan terhadap perempuan yang terjadi hingga sampai saat ini. Dan perlu kita ketahui bahwa semua berhak setara, tidak ada sebuah pembedaan yang menjadikannya lebih agung dari yang lainnya. Satu pesan untuk seluruh wanita di berbagai lapisan tempat, tetap bersinar dan cerah mencerahkan!
Sumber :
Bashin, Kamla dan Nighat Said Khan (1986). Some Question of Feminism and its Relevance in South Asia: National Commission on the role of Filipino Women.
Sakina, Ade Irma, dkk. Menyoroti Budaya Patriarki Di Indonesia : Departemen Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran